Food Therapy

Ketika seseorang datang kepada saya untuk mendiskusikan tentang masalah berat badan, entah itu kekurangan maupun kelebihan, maka hal pertama yang menjadi bahan diskusi kami adalah pola makannya. Ada tiga hal yang harus dipahami oleh seseorang sehubungan dengan pola makan, yaitu: Kondisi, Kualitas dan Kuantitas pada pola makannya. Saya menyebutnya dengan 3K (red: untuk informasi lebih jelas tentang 3K, silahkan baca buku Quantum Slimming).

 

Pola makan ini memberikan banyak sekali informasi tentang diri seseorang, kehidupannya termasuk juga stresnya. Berbeda tubuh, berbeda kisah, berbeda pula penyebab kelebihan berat badannya. Hari ini saya akan membahas tentang penyebab kelebihan berat badan yang disebabkan oleh relasi yang salah dengan makanan, yaitu makanan tanpa sengaja menjadi penyembuh lara hati. Saya menyebutnya dengan food therapy.

 

Berita buruknya, jenis makanan yang menjadi food therapy adalah jenis makanan olahan yang kurang bermanfaat bagi tubuh manusia, boleh dikatakan makanan yang menyampahi tubuh. Sehingga semakin nestapa hidup seseorang, semakin intens dia melakukan food therapy, semakin banyak pula sampah di tubuhnya dan berakhir dengan semakin sakit dan gemuklah dia.

 

Bagaimana ini bisa terjadi?

 

Komposisi makanan olahan pada umumnya adalah lemak jenuh, tepung sulingan, gula sulingan, garam, dan perasa buatan lainnya. Percaya atau tidak, kombinasi bahan makanan seperti ini menyebabkan rangkaian reaksi kimia pada otak yang menyebabkan kecanduan.

 

Inilah reaksi kimia yang terjadi di dalam otak ketika tubuh mendapatkan makanan olahan yang terdiri dari bahan makanan yang telah disebutkan di atas, seperti misalnya chocolate chip cookie; sirkuit opioid (red: pusat utama kesenangan di dalam tubuh manusia) akan mulai terangsang dan melepaskan senyawa kimia bernama opioid. Opioid adalah senyawa kimia dalam otak yang memberikan kita sensasi “emmm enak”. Kenyataan lainnya adalah sensasi dari opioid ini sama seperti sensasi yang dihasilkan dari mengkonsumsi zat seperti morphin.

 

Pada gigitan kedua, di saat lidah mulai semakin mengenal rasa chocolate chip cookie ini, opioid menjadi semakin membanjiri otak. Kini masalah berubah menjadi lebih kompleks lagi. Gigitan demi gigitan itu ternyata membuat otak merangsang sirkuit dopamin. Dopamin dikenal sebagai pusat penghargaan bagi tubuh manusia. Dikatakan demikian karena dopamin muncul sebagai bayaran atas sebuah usaha. Sesuai dengan fungsinya sebagai pusat penghargaan, dia juga memunculkan efek ketagihan. Siapa yang tidak menginginkan penghargaan berulang-ulang? Jika dijelaskan secara singkat, rangkaian reaksi kimia ini boleh dikatakan, opioid memberikan efek “saya suka”, sedangkan dopamin memberikan efek “saya mau”. Kelebihan dopamin lainnya adalah dia mampu mengemudikan perhatian manusia hanya kepada satu hal tertentu. Itu sebabnya kecanduan sesuatu (makanan) akan membuat perhatian hanya tertuju pada hal yang itu-itu saja, dengan kata lain makan lagi dan makan lagi.  

 

Semakin sering sebuah prilaku makan diulang, semakin kuat perhatian yang ditujukan kepadanya, semakin menggebu dan bersemangat pula keinginan untuk selalu mengejar dan menghabiskannya. Buruknya, begitu sistem candu ini teraktifkan, seseorang akan melakukan upaya apa saja untuk membuatnya terpenuhi. Berbagai halangan untuk mewujudkannya tidak akan dirasakan. Termasuk juga ketika hal tersebut akan merugikan di masa yang akan datang, pertimbangan ini juga akan diabaikan.

 

Mari kita ringkas rangkaian reaksi kimia ini:

Makan makanan olahan => Opioid => Dopamin =>

Kecanduan makanan olahan => Opioid => Dopamin => Kecanduan makanan olahan => Opioid => Dopamin => Kecanduan makanan olahan =>  Dan seterusnya dan seterusnya.

 

Untuk itu sebaiknya mulailah waspada dengan efek dari makanan olahan yang bisa memulai proses kimiawi dalam otak yang bisa menyeret kepada kecanduan. Kehadiran opioid tanpa sengaja telah menjadikan makanan sebagai penyembuh (sementara) bagi lara hati. Dan memang pada kenyataannya, karena sifatnya yang bisa memberikan rasa senang dengan sensasi “emmm enak”nya, membuat seseorang seolah tersingkir dari masalahnya sejenak, namun perlu diingat bahwa semua rangkaian ini tidak berhenti begitu saja, pada akhirnya akan berbonus gemuk yang diikuti seluruh efek buruk dari kegemukan.

 

Didukung oleh temuan para peneliti bahwa kecanduan pada makanan menunjukkan proses biologis yang sama dengan kecanduan pada alkohol dan narkoba. Artinya, jika sudah berurusan dengan kecanduan, tidak peduli pada alkohol, narkoba ataupun makanan, maka melepaskan kecanduan ini harus dilakukan dengan serius. Berusahalah menyelesaikan hingga ke akarnya. Melarikan diri kepada makanan bukanlah cara bijak menyelesaikan masalah karena akan mengundang masalah yang lebih besar lagi. Untuk itu katakan tidak pada food therapy!



Dipublikasikan di https://quantumslimming.com/index.php?p=article&action=shownews&pid=256 pada tanggal 11 Agustus 2015 22:02