What-The-Hell Effect and Ego Personality Theory

Anda pasti terbiasa dengan situasi misalnya saat sedang berada di luar kota, lalu Anda melihat-lihat kuliner setempat dan menjadi begitu tergoda dengan makanan yang ada di depan Anda. Lalu mulailah muncul dialog-dialog internal seperti ini: 

“Jangan dimakan! Kan udah janji mau mengurangi makan yang kaya gitu. Ini badan udah makin berat, kalau jalan jauh atau naik tangga udah sesak nafas, kaki mulai agak sakit, setiap beli baju selalu tambah ukuran.” 

“Betul sih, tapi ini enak sekali. Beda sama yang biasanya dimakan. Kalau sedikit aja pasti engga ngaruh lah.” 

“Tapi kan udah sumpah-sumpah mau serius ngurusin badan. Sumpahnya udah dari tahun lalu, eh…bertahun-tahun lalu. Kalau engga mulai sekarang kapan lagi?” 

“Sedikit aja engga masalah kali… Cuma cicip-cicip aja, kok. Penasaran nih, rasanya kaya apa sih. Kata teman sih di tempat ini makanannya enak banget.” 

“Heh! Ini makanan sampah loh. Badan engga bisa pakai. Engga sehat. Lihat pewarnanya, belum lagi gulanya, yakin engga ada pengawetnya?” 

“Iya, tapi kalau sedikit sih engga sampai merusak lah. Mana mungkin makan sedikit lalu sakit kanker.” 

“Makan sampah begini udah lama loh. Sedikit-sedikit tapi udah bisa jadi bukit. Apa engga lihat kalau perut juga jadinya ikutan buncit? Udah jangan dimakan!” 

“Engga bisa, nanggung nih. Kapan lagi ada di sini.? Udah jauh-jauh datang ke sini. Lagian malu sama yang lain. Mereka santai-santai aja tuh makannya. Sedikit aja….” 

“Jangan! Engga boleh! Lebih suka tahan malu apa tahan sakit?” 

“Jangan sampai segitunya lah… Nanti waktu di rumah baru makan yang benar.” 

“Tahan mulut! Ini kunci kalau mau hidup sehat.” 

“Iya, iya….”

Perseteruan internal ini akhirnya bungkam dalam kunyahan demi kunyahan.

“Ya…ya, saya tahu saya gagal diet lagi hari ini. Tapi ya sudahlah…. 

Kemudian segala sesuatunya berjalan di luar dari yang sudah direncanakan. Karena sudah terlanjur basah (gagal) ya sudah basahkan saja sekalian. Pemikiran demikian memicu seseorang untuk makan semakin banyak dari yang seharusnya, dan juga ia akan makan apa saja yang ada. Ia sudah melepaskan batasan-batasan makan yang wajar. Perilaku demikian dikenal dengan nama ilmiah counterregulatory eating atau dikenal juga dengan istilah what-the-hell effect. 

Apa yang terjadi selanjutnya? Setelah selesai makan, alih-alih merasa puas, terpenuhi kesenangannya, merasa utuh, merasa bahagia yang tak terkira seperti yang dibayangkan sedari awal melihat makanan, justru yang muncul adalah perasaan kosong, hampa, dan menyesal. Yah…namanya juga penyesalan pasti datangnya belakangan, kalau datangnya di awal itu namanya pendaftaran. 

Ketika seseorang memandang perjalanan diet mereka yang dibumbui drama berbelit-belit seperti ini sebagai sebuah kegagalan kolosal, maka perasaan bersalah, malu, frustrasi, gagal, merasa tidak berdaya bergegas menjadi sinergi kekalutan yang menyamar sempurna menjadi sebuah perasaan putus asa. 

Perasaan putus asa inilah yang mendorongnya untuk makan berlebihan dan makan apa saja yang ada di sana saat itu

Ada sebuah riset menarik yang dipublikasikan pada tahun 1998 dalam Journal of Abnormal Psychology. Para peneliti dari Universitas Toronto membagi partisipan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Terkendali dan Non-Terkendali. Semua partisipan ditimbang sebelum mengikuti penelitian. Lalu peneliti memberitahukan kepada mereka hasilnya. Hanya saja untuk kepentingan penelitian, tentu saja berat badan yang diberitahukan kepada partisipan tidaklah benar.

Pada partisipan dari kelompok Terkendali diberitahukan bahwa berat badan mereka 2,5 kilogram lebih berat dari yang seharusnya. Sedangkan pada kelompok Non-Terkendali diberitahukan bahwa berat badan mereka 2,5 kilogram lebih ringan dari yang seharusnya.

Partisipan dari kelompok Terkendali tentu saja merasa lebih sedih, bersalah, kecewa dengan diri mereka sendiri, dan dengan segera menjadi putus asa. Sedangkan partisipan dari kelompok Non-Terkendali tidak begitu merasakan perasaan destruktif seperti yang dirasakan oleh kelompok Terkendali.

Dengan memunculkan perasaan demikian, diharapkan partisipan dari kelompok Terkendali lebih bisa mengendalikan diri mereka terhadap makanan. Lalu penelitian dilanjutkan dengan meminta partisipan untuk memilih dan mengambil makanan mereka sendiri. Tidak ada pembatasan untuk hal ini.

Hasilnya sungguh mengejutkan. Alih-alih termotivasi untuk menurunkan berat badan mereka, ternyata kelompok Terkendali justru makan lebih banyak daripada partisipan dari kelompok Non-Terkendali.
 

Penelitian ini membuktikan bahwa perasaan-perasaan negatif destruktif telah mendorong munculnya what-the-hell effect pada tatanan psikis seseorang. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh besar pada perilaku makan dan gaya hidup mereka.

 

Perspektif teori Ego Personality

Situasi di atas bukanlah sesuatu yang rumit. Mulai dari dialog internal yang muncul sampai dengan perasaan yang dirasakan itu bisa terjadi karena adanya dua atau bahkan lebih bagian diri yang sedang berdebat hendak memutuskan sesuatu. Ini adalah perspektif dari teori Ego Personality.

Saat membacanya dialog di atas, Anda barangkali sudah bisa menilai mana bagian diri yang bertujuan baik, mana bagian diri yang melakukan sebaliknya. 

Faktanya, semua bagian diri itu bertujuan baik semua. Mereka ingin melindungi si individu dengan cara mereka masing-masing. Mereka melindungi sesuai informasi dari pengalaman atau kejadian yang dialami secara berkesinambungan atau berulang sebagai pembelajaran dan kesimpulan solusi untuk mengatasinya.

Biasanya sebuah perilaku yang dimunculkan oleh bagian ini untuk tujuan mengulangi kesenangan atau sebaliknya untuk menghindari sebuah kondisi yang dipersepsikan sebagai sebuah bahaya oleh bagian diri tersebut. 

Bagian diri yang menang (dominan) adalah bagian diri yang memiliki energi psikis yang lebih besar. Semakin sering ia muncul, semakin besar energi psikis yang dia kumpulkan. 

Internal konflik yang muncul lewat argumentasi para bagian diri dan seringkali berakhir dengan munculnya perasaan atau emosi tertentu (terutama emosi yang bersifat negatif) sangatlah menguras energi fisik juga. Sehingga hal ini selain menimbulkan kelelahan mental, juga bisa menimbulkan kelelahan pada fisik.

Kelelahan fisik ini membuat perasaan tubuh tidak berenergi, lemas, lesu, kurang bergairah, dan redup. Kira-kira apa solusi yang tepat? Apalagi jika bukan makan! Tidak peduli fakta bahwa Anda baru saja makan dan menyesalinya, sekarang pikiran Anda sedang ditipu bahwa tubuh Anda membutuhkan makanan (lagi).

 

Bagaimana solusinya?

Sekarang Anda sudah paham bahwa pertempuran mental ini berujung pada perilaku makan berlebih. Padahal solusi yang tepat bagi tubuh yang kelelahan akibat pertempuran mental bukanlah makanan, melainkan mendamaikan bagian diri yang berbeda pendapat satu dengan yang lainnya. 

Meskipun bagian diri tersebut telah membelokkan Anda jauh dari tujuan yang hendak dicapai, tetaplah ingat bahwa tujuan bagian diri ini adalah baik. Maka yang perlu Anda lakukan adalah membujuk, mengedukasi, bernegosiasi, membuat kesepakatan ulang. Ini bisa dilakukan dengan mudah dengan cara melakukan dialog internal. Ini disebut dialog internal yang berkualitas.

Untuk Anda yang awam melakukan dialog internal yang berkualitas memang tidak mudah. Dalam Kelas Langsing Quantum Slimming, peserta diajarkan cara untuk melakukan berdialog internal berkualitas ini. 

Dalam beberapa kasus, memang tidak semudah hanya dengan melakukan dialog internal saja, terutama untuk bagian diri underlying. Perlu cara khusus untuk mengaksesnya. Apalagi apabila bagian diri ini ternyata memegang emosi tertentu dari peristiwa traumatik. Jika Anda memiliki masalah seperti ini, tentunya Anda perlu bantuan profesional, yaitu seorang hipnoterapis klinis.



Dipublikasikan di https://quantumslimming.com/index.php?p=article&action=shownews&pid=260 pada tanggal 12 Oktober 2018 02:04